e-wayang abjad kontektual

Ini adalah e-wayang abjad kontektual, merupakan video pengembangan wayang abjad konvensioanal yang telah ada sebelumnya

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 05 Mei 2011

Taman kanak-kanak

Taman kanak-kanak atau disingkat TK adalah jenjang pendidikan anak usia dini (yakni usia 6 tahun atau di bawahnya) dalam bentuk pendidikan formal. Kurikulum TK ditekankan pada pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Lama masa belajar seorang murid di TK biasanya tergantung pada tingkat kecerdasannya yang dinilai dari rapor per semester. Secara umum untuk lulus dari tingkat program di TK selama 2 (dua) tahun, yaitu:
  • TK 0 (nol) Kecil (TK kecil) selama 1 (satu) tahun
  • TK 0 (nol) Besar (TK besar) selama 1 (satu) tahun
Umur rata-rata minimal kanak-kanak mula dapat belajar di sebuah taman kanak-kanak berkisar 4-5 tahun sedangkan umur rata-rata untuk lulus dari TK berkisar 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah lainnya yang sederajat, murid kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi di atasnya, yaitu Sekolah Dasar atau yang sederajat.
Di Indonesia, seseorang tidak diwajibkan untuk menempuh pendidikan di TK.

Pembelajaran di TK

Di TK, siswa diberi kesempatan untuk belajar dan diberikan kurikulum pembelajaran yang sesuai dengan usia pada tiap-tiap tingkatannya. Siswa diajarkan mengenai hal-ihwal berikut ini:
  • Agama,
  • Budi bahasa,
  • Berhitung,
  • Membaca (mengenal aksara dan ejaan),
  • Bernyanyi,
  • Bersosialisasi dalam lingkungan keluarga dan teman-teman sepermainannya, dan
  • Berbagai macam keterampilan lainnya.
Tujuan TK adalah meningkatkan daya cipta anak-anak dan memacunya untuk belajar mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan melalui pendekatan nilai budi bahasa, agama, sosial, emosional, fisik, motorik, kognitif, bahasa, seni, dan kemandirian. Semua dirancang sebagai upaya mengembangkan daya pikir dan peranan anak dalam hidupnya. kegiatan belajar ini dikemas dalam model belajar sambil bermain.
Sumber: 

Pendidikan anak usia dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

Rabu, 04 Mei 2011

Fakta Lainnya Mengenai Anak Usia Dini

Selama ini, anak TK menggunakan alat peraga kartu huruf untuk memperoleh kemampuan baca tulis. Pembelajaran baca-tulis dapat diciptakan dengan melibatkan anak sebanyak-banyaknya untuk mengungkapkan pengalaman bahasa mereka. Dikatakan oleh Jalongo (dalam Suparti, t.t.:2) bahwa penggunaan pengalaman bahasa anak akan membangkitkan kesadaran pribadi yang positif. Melalui pengalaman bahasanya, anak dapat mengawali kegiatan menulisnya dengan rasa senang. Mereka menulis apa yang dirasakan dan dipikirkannya kemudian mereka membaca apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Hal itu menguatkan pendapat Ellis, dkk. (dalam Suparti, t.t.:2) bahwa skemata anak merupakan bekal yang baik pembelajaran keterampilan berbahasa. Kartu huruf adalah gambar huruf yang dituangkan pada selembar karton berbentuk kartu yang cukup besar, Oberlander (dalam Mahadewi & Sukraningsih, 2007:6). kartu tersebut memuat huruf yang ditulis dengan huruf besar dan huruf kecil. Anak hanya mengamati huruf-huruf yang tertuang pada kartu. Kartu tersebut terkadang cepat rusak karena tidak sengaja disobek atau basah kena tangan, anak yang berkeringat. Di samping itu, pada kartu tersebut tidak disertai contoh gambar orang atau benda nyata yang ditemui anak sehari-hari yang menerangkan penggunaan huruf yang dipelajari, sehingga anak kurang bisa mengkaitkan anatara apa yang dipelajari dengan lingkungan sekitarnya. Anak cenderung menghafal huruf yang terdapat pada kartu dan kurang mengkaitkan dengan penerapan huruf-huruf itu untuk menerangkan orang atau benda yang sedang ditemuinya sehari-hari. Pembelajaran yang terjadi kurang menjembatani antara apa yang diperoleh anak di TK dengan kemampuan seharusnya dimiliki anak untuk menghadapi lingkungannya. Beberapa  praktik  yang  masih sering  ditemui  dalam  pelajaran membaca  dan menulis,  adalah mengenal  huruf-huruf  tunggal,  membaca  alfabet,  menyanyikan  nyanyian  alfabet,  membentuk huruf  di  atas  garis  yang  sudah  ditentukan  sebelumnya,  atau  menyuruh  anak mengoreksi  bentuk  huruf  di  atas  garis  yang  sudah  dicetak  merupakan  contoh praktik  yang  tidak  cocok  diterapkan  karena  menekankan  perkembangan keterampilan  secara  terpisah  (Santrock,  2002:245).  Senada  dengan  NAEYC, Megawangi  (2005:89)  pun  beranggapan  jika  anak  belajar  menulis  dengan mengikuti  titik – titik  yang  sudah  dibuat  guru,  anak  tidak mengerti  apa yang  ia tulis. Hal ini merupakan bentuk praktek pendidikan yang tidak patut, berpedoman pada teori Developmentally  Appropriate  Practices  (DAP).
Dinyatakan oleh Combs (dalam Suparti, t.t.:2) bahwa pembelajaran bahasa merupakan suatu keutuhan dan kepaduan, keterampilan membaca dipadukan dengan keterampilan menyimak, berbicara, dan menulis. Dalam pembelajaran berdasarkan PPB, guru membelajarkan membaca kepada anak melalui karangan-karangan yang dikembangkan oleh seorang anak atau sekelompok anak atau secara klasikal dengan bimbingan guru. Berdasarkan gambaran tersebut, guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menyiapkan alat peraga/alat bermain yang memfasilitasi pembelajaran anak. Salah satunya adalah alat peraga wayang abjad kontekstual. Wayang abjad adalah bermacam-macam bentuk alfabet dari A sampai Z yang ditulis pada karton berbentuk seperti benda kontekstual yang diperagakan dan diberi tangkai agar anak bisa memegang seperti wayang, Oberlander (dalam Mahadewi & Sukraningsih, 2007:7). Alat peraga/alat bermain adalah semua benda dan alat yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang digunakan untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar, bermain dan bekerja di sekolah, agar dapat berlangsung dengan teratur, efektif dan efisien sehingga tujuan endidikan di TK dapat tercapai (Depdiknas, 2003), yang lebih penting lagi, alat peraga wayang abjad kontekstual menjembatani kemampuan yang diperoleh anak di TK dengan lingkungan. Hal ini disebabkan karena pada alat peraga wayang abjad kontekstual tersebut disertai gambar yang huruf awalnya sesuai dengan huruf yang dipalajari. Dengan demikian belajar sambil bermain akan lebih efektif, kontekstual, dan menyenangkan bagi anak. Senada dengan Goodman (dalam Suparti, t.t.:2) bahwa belajar bahasa akan berlangsung dengan mudah jika bersifat nyata, relevan, bermakna, dan kontekstual.

Hakikat Pembelajaran Kontekstual

1)  Pengertian pembelajaran Kontekstual
Adalah konsep belajar yang membantu guru dalam mengkaitkan antara materi yang dipelajarinya dengan situasi dunia nyata anak dan mendorong anak membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran efektif (Nurhadi, 2005:5).
2)  Karakteristik pembelajaran kontekstual
Menurut Nurhadi (2002:20) bahwa ada beberapa karakteristik pembelajaran berbasis kontekstual, yaitu:
a)   adanya kerja sama, sharing dengan teman dan saling menunjang
b)   anak aktif dan kritis, belajar dengan bergairah, menyenangkan dan tidak membosankan, serta guru kreatif
c)   pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber
d)   dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya anak misalnya: peta, gambar, diagaram, dll.
e)   laporan kepada orang tua bukan sekedar rapor akan tetapi hasil karya anak, laporan praktikum, dll.
Untuk memahami pembelajaran kontekstual maka ada kata kunci dalam pembelajaran kontekstual yaitu:
a)   real world learning, mengutamakan pengalaman nyata 
b)   berpusat pada anak, anak aktif, kritis, dan kreatif serta anak ‘akting’ guru mengarahkan
c)   penegetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat dengan kehidupan nyata, serta adanya perubahan perilaku dan pembentukan ‘manusia’
d)   anak praktek, bukan menghafal,  Learning bukan  Teaching, pendidikan bukan pengajaran
e)   memecahkan masalah dan berpikir tingkat tinggi
f)   hasil belajar di ukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes. Komponen Pembelajaran Kontekstual

Menurut Nurhadi (2002:10) bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu:
1.  Konstruktivisme (Constructivisme)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong, Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, anak membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalm pross belajar mengajar. Anak menjadi pusat kegiatan bukan guru. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis ‘strategi memperoleh’ lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak anak memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
a)   menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi anak,
b)   memberi kesenpatan anak menemukan dan menerapkan idenya sendiri,
c)   menyadarkan anak agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2.  Menemukan (inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajran berbasis CTL. Pengetahuan dan ketrempailan yang diperoleh anak bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merancang kegiatan yang merujukpada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkanya. Langkah-langkah kegiatan menemukan (inkuiri):
a)   merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)
b)   mengamati atau melakukan observasi
c)   menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainya
d)   mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien yang lain.
3.  Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang bermula dari ‘bertanya’. Questioning  (bertanya) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya daalm pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir anak. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
a)   menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
b)   mengecek pemahaman anak
c)   membangkitkan respon kepada anak
d)   mengetahui sejauh mana keingin tahuan anak 
e)   mengetahui hal-hal yang sudah diketahui anak
f)   memfokuskan perhatian anak pada sesuatu yang dikehendaki guru
g)   untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari anak
h)   untuk menyegarkan kembali pengetahuan anak.
4.  Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep  Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ‘Sharing’ antara teman, antar kelompok dan antara yang tahu dan yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, orang-orang yang ada di luar  sana adalah anggota masyarakat belajar. Praktek masyarakat belajar dalam pembelajaran terwujud dalam:
a)     pembentukan kelompok kecil
b)    pembentukan kelompok besar
c)     mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (tokoh olahragawan, dokter perawat, polisi, dsb)
d)    bekerja dengan kelas sederajat
e)     bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
f)     bekerja dengan masyarakat
5.  Pemodelan (Modelling)
Pemodelan maksudnya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa di tiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dlam pembelajaran CTL guru bukan satu-satunya model. Model dapat di rancang dengan melibatkan anak.
6.  Refleksi (Reflection)
Rrefleksi cara berpikir tentang apa yang baru di pelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Anak mengendapkan apa yang baru di pelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakn respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Guru atau orang dewasa  membantu anak membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang  dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu anak akan memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang dipelajarinya. Kunci dari semua itu adalah  bagaimana pengetahuan itu mengendap ke benak anak.
7.  Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar anak. Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian, bukanlah untuk mencari informasi tenteng belajar anak. Pembelajaran yang benar sudah seharusnya ditekankan oada uoaya memebantu anak agar mampu mempelajari, bukan di tekankan pada diperolehnya sebanyak-banyak mungkin informasi di akhir pembelajaran. Data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang diperoleh anak pada saat melakukan proses pembelajaran. Karakteristik penilaian yang sebenarnya:
a)     dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung
b)    bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif
c)     yang di ukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta
d)    berkesinambungan
e)     terintegrasi
f)     dapat digunakan sebagai  feed back
Selama ini pembelajaran dalam pendidikan di sekolah kurang produktif. Guru hanya memberi materi ceramah dan guru sebagai sumber  utama pengetahuan, sementara anak harus menghafal. Tetapi dalam kelas kontekstual guru dituntut untuk menghidupkan kelas dengan cara mengembangkan pemikiran anak agar lebih bermakna dengan bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
Tabel. 1 Perbedaan pembelajaran konvensionl dengan kontekstual
No
Konvensional
Kontektual
1
Menyandarkan pada hapalan
Menyandarkan pada memori spesial
2
Pemilihan informasi di tentukan oleh guru
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan individu anak
3
Cenderung berfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin)
4
Memberikan tumpukan informasi kepada anak
Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki oleh anak
5
Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian dan ulangan
Menerapkan penilaiaan autentik melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah
 Sumber: Sogoz (dalam Novianisari 2005:25)
Pada pembelajaran kontekstual anak tidak harus menghafal fakta-fakta yang hasilnya tidak tahan lama, tetapi sebuah strategi yang mendorong anak untuk mengkonstruksikan pengetahuan mereka melalui keaktifan dalam proses pembelajaran. Dengan begitu anak belajar dari mengalami sendiri. Pembelajaran kontekstual mendorong pendidik memilih atau mendisain lingkungan pembelajaran. Caranya dengan memadukan sebanyak mungkin pengalaman belajar, seperti lingkungan sosial, lingkungan budaya, fisik dan lingkungan psikologis dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Penerapan CTL dalam kelas langkahnya adalah sebagi berikut:
a)      kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b)      melaksanakan kegiatan inkuiri untuk semua topk
c)      kembangkan sifat ingin tahu anak dengan bertanya
d)      ciptakan ‘masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok)
e)      hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
f)      lakukan refleksi di akhir pertemuan
g)      lakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai cara

Hitam Putih Anak Usia Dini

Pendidikan merupakan hal yang paling hakiki dalam tumbuh kembang manusia, sejak manusia lahir hingga kembali kepangkuan Yang Maha Kuasa. Perjalanan pendidikan yang paling awal dimulai dari manusia lahir, yang harus diberikan perhatian lebih, dengan rentangan umur tertentu. Anak  usia  dini  berada  dalam  tahap  pertumbuhan  dan  perkembangan  yang paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005:5). Tepatlah bila dikatakan  bahwa  usia  dini  adalah  usia  emas  (golden  age),  di mana  anak  sangat berpotensi  mempelajari  banyak  hal  dengan  cepat. Mempersiapkan anak untuk belajar di usia ini diharapkan dapat memberi hasil yang baik, karena menurut Montessori (dalam Hainstock, 2002:103) di usia 3,5 – 4,5 tahun anak lebih mudah belajar menulis, dan di usia 4 – 5 tahun anak lebih mudah membaca dan mengerti angka. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003 Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 ayat 1 adalah 0-6 tahun (Wikipedia, 2011). Lebih lanjut, menurut kajian rumpun keilmuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini yaitu:
1)      Infant (0-1 tahun)
2)      Toddler (2-3 tahun)
3)      Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
4)      Early Primary School (6-8 tahun) (Wikipedia, 2011)
Dalam rentangan tersebut perlu diberikan perhatian khusus karena merupakan awal dari pembentukan karakter awal  dari pribadi anak.
Pembelajaran anak usia dini khusunya untuk anak Taman Kanak-kanak (TK), merupakan wahana untuk mengembangkan potensi seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan bakat dan minat masing-masing anak. Proses pembelajaran anak TK memang masih menjadi permasalahan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena pola pembelajaran yang dilaksanakan cenderung berorientasi akademik dan menganggap bahwa konsep-konsep yang ada pada diri anak tidak berkembang secara spontan, melainkan harus ditanamkan dan diserap olah anak melalui perlakuan orang dewasa. Hal ini tentu saja bertentangan dengan hakikat pembelajaran di TK yang menekankan anak sebagai pebelajar yang aktif. Apabila anak TK diajarkan dan bukannya dibelajarkan, maka pengembangan berbagai potensi anak secara optimal tidak akan tercapai. Rachmawati (dalam Mahadewi & Sukraningsih, 2007:5) mengemukakan bahwa memberikan kegiatan belajar pada anak didik harus memperhatikan kematangan atau tahap perkembangan anak didik, alat bermain, metode  yang digunakan, waktu, serta tempat bermain. Pada kurikulum 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kegiatan pembelajaran diarahkan ke sistem pembalajaran kelas yang berpusat pada anak (student center learning). Dalam pembelajaran tersebut, interaksi yang terjadi adalah upaya guru membelajarkan anak. Peran guru adalah sebagai fasilitator dan motivator, sehingga guru dituntut untuk lebih kreatif dalam meyiapkan sarana yang diperlukan di masing-msing area tersebut. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari (learning how to learn) terhadap sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di-akhir periode pembelajaran (Martinis Yamin, 2008: 152).

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

 
Read more: http://www.cahgogonity.co.cc/2011/03/cara-membuat-artikel-blog-tidak-bisa-di.html#ixzz1LcD6kgrG