Rabu, 04 Mei 2011

Hitam Putih Anak Usia Dini

Pendidikan merupakan hal yang paling hakiki dalam tumbuh kembang manusia, sejak manusia lahir hingga kembali kepangkuan Yang Maha Kuasa. Perjalanan pendidikan yang paling awal dimulai dari manusia lahir, yang harus diberikan perhatian lebih, dengan rentangan umur tertentu. Anak  usia  dini  berada  dalam  tahap  pertumbuhan  dan  perkembangan  yang paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005:5). Tepatlah bila dikatakan  bahwa  usia  dini  adalah  usia  emas  (golden  age),  di mana  anak  sangat berpotensi  mempelajari  banyak  hal  dengan  cepat. Mempersiapkan anak untuk belajar di usia ini diharapkan dapat memberi hasil yang baik, karena menurut Montessori (dalam Hainstock, 2002:103) di usia 3,5 – 4,5 tahun anak lebih mudah belajar menulis, dan di usia 4 – 5 tahun anak lebih mudah membaca dan mengerti angka. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003 Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 ayat 1 adalah 0-6 tahun (Wikipedia, 2011). Lebih lanjut, menurut kajian rumpun keilmuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini yaitu:
1)      Infant (0-1 tahun)
2)      Toddler (2-3 tahun)
3)      Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
4)      Early Primary School (6-8 tahun) (Wikipedia, 2011)
Dalam rentangan tersebut perlu diberikan perhatian khusus karena merupakan awal dari pembentukan karakter awal  dari pribadi anak.
Pembelajaran anak usia dini khusunya untuk anak Taman Kanak-kanak (TK), merupakan wahana untuk mengembangkan potensi seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan bakat dan minat masing-masing anak. Proses pembelajaran anak TK memang masih menjadi permasalahan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena pola pembelajaran yang dilaksanakan cenderung berorientasi akademik dan menganggap bahwa konsep-konsep yang ada pada diri anak tidak berkembang secara spontan, melainkan harus ditanamkan dan diserap olah anak melalui perlakuan orang dewasa. Hal ini tentu saja bertentangan dengan hakikat pembelajaran di TK yang menekankan anak sebagai pebelajar yang aktif. Apabila anak TK diajarkan dan bukannya dibelajarkan, maka pengembangan berbagai potensi anak secara optimal tidak akan tercapai. Rachmawati (dalam Mahadewi & Sukraningsih, 2007:5) mengemukakan bahwa memberikan kegiatan belajar pada anak didik harus memperhatikan kematangan atau tahap perkembangan anak didik, alat bermain, metode  yang digunakan, waktu, serta tempat bermain. Pada kurikulum 2006 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kegiatan pembelajaran diarahkan ke sistem pembalajaran kelas yang berpusat pada anak (student center learning). Dalam pembelajaran tersebut, interaksi yang terjadi adalah upaya guru membelajarkan anak. Peran guru adalah sebagai fasilitator dan motivator, sehingga guru dituntut untuk lebih kreatif dalam meyiapkan sarana yang diperlukan di masing-msing area tersebut. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari (learning how to learn) terhadap sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di-akhir periode pembelajaran (Martinis Yamin, 2008: 152).

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

 
Read more: http://www.cahgogonity.co.cc/2011/03/cara-membuat-artikel-blog-tidak-bisa-di.html#ixzz1LcD6kgrG